" Hai rinduku, apa kabar?"
" Hai rinduku, bagaimana kesehatanmu?"
" Hai rinduku, bagaimana persiapan kuliahmu?"
" Hai rinduku, mengapa kau tetap menawan di hatiku?"
" Hahh!" aku hanya bisa menghela nafas dalam-dalam, memegang kepalaku yang terasa sakit.
Berbagai macam pertanyaan ingin kulontarkan pada laki-laki yang duduk di kursi belakang mobilku. Aku memilih di posisi depan, di samping supir, agar aku tak perlu menatapnya terlalu lama.
Di mobil tak ada keheningan, canda tawa yang tercipta, tapi bukan antara aku dengannya, tapi dengan aku dan kawan-kawanku yang lain.
" Hahh!" lagi-lagi aku menghela nafas, mencoba menghalau rasa yang masih saja berkecamuk di dalam dada. Sudah hampir dua tahun berlalu, hubungan ku dan rindu yang memang sudah sepantasnya tak perlu lagi diperbaiki masih menyisakan rasa yang begitu menyakitkan.
Canda tawa itu lama-lama mengusik ku, mereka mulai menyindir aku dengannya, dengan rinduku, dengan masa laluku. Lalu, aku berharap apa? Kembali padanya?
" Hah!"
Bertubi-tubi aku mengutuk kebodohan ku saat itu. Berkali-kali aku menyesali rasa takut yang singgah di hatiku kala itu. Tapi, itu sudah dua tahun berlalu, apakah aku masih perlu menyesalinya?
Air mataku sudah tumpah saat menulis disini.
Tapi, aku tahu, ada air mata lain yang harus ku jaga agar tak tumpah ke muka bumi ini.
Sakit, ya masih sakit, sama seperti dua tahun lalu, tapi bukankah rinduku lebih sakit dan kecewa dengan sikapku dua tahun lalu?
Aku bisa apa dua tahun lalu saat rinduku gagal dan aku hanya diam bahkan meninggalkannya?
Aku terkadang menyesal menjalin hubungan baru saat ini, karena, rasaku untukmu rindu belum bisa kugantikan.
Tapi, aku bisa apa lagi? Saat hubungan kita goyah dan berakhir dua tahun lalu, kamu dengan mudah meminta seseorang menggatikan posisiku dengan orang lain.
Lalu, aku yang diam, hanya bisa menangis di sudut kamar kostanku, berharap itu bukan nyata.
Ya ya ya, kamu harus tahu, ketika aku melepaskan mu dua tahun lalu, aku tidak benar-benar pergi. Aku hanya membisu, mencoba mengerti kehidupan yang sedang berjalan. Mencoba memahami betapa ternyata hidup dalam cacian itu sakit, dan saat itu kupikir, melepasmu memang yang terbaik.
Aku tidak-tidak benar pergi, aku masih menunggumu, masih menunggumu menggapai cita-citamu.
Ya, maaf, kalau aku memang tidak bisa menemani, karena lagi lagi kebodohan dan rasa takut itu masih berkecamuk.
Beberapa orang bilang, hubunganmu dengannya tak akan berlangsung lama, hanya hitungan minggu atau bulan. Tapi, sudah setahun berlalu, kamu masih mempertahankannya. Lalu aku bisa apa? Merusak hubungan kalian? Hah, maaf aku tak sepicik itu, aku memang menginginkanmu kembali dengan ku, tapi tidak dengan mengganggu hubungan kalian yang sepertinya bahagia.
Ya, setahun berlalu, aku tahu, hidupku juga harus berjalan.
Lalu, aku memilih mencoba membuka hati, walau, memang sulit.
Tapi, terkadang ini juga jadi penyesalanku.
Kenapa aku membuka hati ketika kamu yang kurindukan masih bertahta di tempat terindah.
Lalu, pangeran baik hati yang sekarang menemaniku tak ingin kusakiti.
Aku sejujurnya tak pernah ingin melihatnya menangis.
Sejujurnya, aku juga ingin bisa mencintainya sama seperti mencintaimu rindu.
Ya, mungkin inilah hidup.
Kamu yang kurindukan dengannya.
Dan, aku mencoba benar-benar mencintai pangeran baik hati itu melebihi aku mencintaimu rindu.
#pelangi
Sudut rindu, 27 Juli 2014
09.21
Rinduku
Diposting oleh
CERITA CINTA
Minggu, 27 Juli 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar