Aku memandang
tumpukan kertas yang berserakan di hadapanku dengan frustasi. Tertulis jelas
nama mata kuliah “ Elektronika Telekomunikasi” . Berlembar-lembar kertas dengan
diagram smith chart yang tak
kumengertipun terus membuat aku terkurung di kamar kostan ini seorang diri. SMS
dari mama siang tadipun membuat aku rasanya ingin segera pulang ke Jakarta,
mengikuti pesta tahun baru bersama keluarga besar. Tapi, sekarang aku masih di
Bandung, dikamar kostan berukuran 3 X 5 meter ditemani suara tembakan kembang
api yang membuat bising.
“ Huaaaa!” ku
merebahkan badanku dikasur.
Kenapa kampus
harus melakukan UAS di sela-sela yang lain sedang asyik menikmati liburan
panjang? Kenapa aku harus bergelut dengan banyaknya rangkaian yang tak
kumengerti ini? Kenapa aku harus disini sekarang? Sudah enek rasanya menghitung
dan terus menghitung sesuatu yang abstrak ini. Aku meraih tablet yang berada
tepat di sebelahku dan membuka recent
update di BBM, hampir semua memperbarui statusnya dan membuat aku semakin
iri. Aku melihat status Henrry Budiarto, jelas sekali sahabatku yang satu itu
sekarang juga berada di Bandung untuk merayakan pesta pergantian tahun dengan
kekasihnya.
Mataku
teralihkan dengan kunci motor yang terletak di samping meja belajarku. Kulirik jam
dinding berbentuk sapi yang menunjukkan pukul 20.57. Rasanya tak masalah lah ya
jika kuhentikan sebentar aktivitas belajar menjemukan ini dan menikmati pesta
masyarakat dunia. Tapi, aku harus kemana ya? Aku sudah menolak ajakan pesta
tahun baru bareng anak taekwondo dan juga anak-anak masyarakat jurnalistik.
Jalanan kota Bandung juga pasti macet parah. Tapi, membiarkan otakku macet juga
rasanya itu lebih parah.
Aku tersenyum
dan segera mengganti bajuku. Ngebolang di malam tahu baru ini pasti ya lebih
menyenangkan daripada menikmati soal-soal mata kuliah ini.
“ Kemana Ra?”
tanya Myke saat melihatku mengelurkan motor.
“ Bolang dulu
lah gue, suntuk di kamar!” jawabku.
“ Yaudah
hati-hati, Bandung lagi rawan banget, apalagi pesta tahun baru gini!”
“ Yoi, gue
jalan dulu ya!” aku langsung melarikan motorku meninggalkan kompleks Telkom
University yang semakin sepi.
Entah kemana
kubawa laju motorku, suara tembakan kembang api mengiringi perjalananku.
Perjalanan tanpa arah ini sebenarnya dibayang bayangin rasa takut geng motor
yang sedang gencar beraksi di Bandung. Apalagi, aku tak pernah hapal jalanan
Bandung. Indahnya langit malam ini, taburan bintang kalah dengan warna-warninya
kembang api berharga ratusan hingga jutaan tersebut. Aku meminggirkan motorku,
mencoba mencari handphone di dalam
saku dan menelepon Henrry, aku ingat PM BBM nya, aku tahu ia ada di Bandung.
“ Bro, loe
dimana?” tanyaku saat sambungan telepon tersambung.
“ Di Dipati
Ukur tempat Dita, kenapa sob?” jawabnya.
“ Gue kesana
ya?” tanyaku.
“ Yaudah sini
bro. Pesta baru mau dimulai nih!” jawabnya.
“ Yoaa, gue
merapat, siapin pesta meriah ya.”
“ Yoi, selalu
ada kejutan buat loe!” jawabnya dan sambungan telepon itu terputus.
Aku melewati
wilayah paling rawan di Kota Bandung, wilayah yang baru saja menjadi saksi
terbunuhnya karbol AAU tingkat tiga. Laju motorkupun semakin kencang, aku baru
saja melewati gerombolan motor-motor brandal. Kali ini tempat yang kulalui
gelap. Aku sadar, kejahatan ibukota Jawa Barat ini menghantuiku. Entah hanya
sugesti atau apa, aku merasa ada yang membututiku.
Teen ....
Teen
Klakson motor
terdengar jelas di belakangku. Dua buah motor berusaha mengejar laju motorku. Aku
benar-benar ketakutan. Ini malam tahun baru, apa mereka masih tetap ingin beraksi?
Teeeennnn...
Klakson
panjang mereka terdengar. Kali ini mereka berhasil memepetku, aku ketakutan. Tak
tahu harus berbuat apa. Pisau lipat yang selalu ada di tasku pun rasanya tak
ada di tas. Jadi apa yang harus kulakukan.
“ Mau apa?”
tanyaku ketakutan. Ya, walau aku seorang taekwondoin, di todong pisau tetap
saja menyeramkan.
“ Cantik, Cuma
mau ajak tahun baruan bareng kok!” jawab salah satu dari empat orang tersebut.
Ku diam,
keringat dingin keluar.
Tiba-tiba,
suara sirine polisi terdengar. Entah suaranya darimana, aku tak melihat cahaya
mobil darimanapun. Tapi, suara itu sukses membuat keempat orang itu menaikki
motornya dan secepat mungkin menjauhiku.
Aku terdiam
di tempatku.
Tiba-tiba tak
lama kemudian muncul seorang laki-laki berseragam kehadapanku.
“ Kamu nggak
apa-apa?” tanyanya. Ia tampak panik melihatku,
Aku mengangguk.
Masih mengontrol nafas yang tak karuan.
“ Naik!” kata
laki-laki berseragam Akademi militer itu yang sekarang menguasai motorku.
“ Kemana?”
tanyaku masih tak percaya.
“ Sudahlah. Disini
tak aman, aku tak yakin bisa melindungimu lebih dari ini,” katanya.
Aku yang
masih terkejut segera mengikuti perintahnya.
“ Nggak nyangka
ketemu kamu disini!” katanya.
Kemudian ia
diam, membawa motorku ke sebuah taman.
Ia
memparkirkan motorku dan segera turun tanpa sedikitpun memandangiku. Aku sendiri
masih heran dengan laki-laki yang baru saja menyelematkanku.
“ Ada polisi
tadi?” tanyaku.
Ia menggeleng
dan mengeluarkan handphone dari
sakunya.
“ Hanya suara
ini.”
“ Kamu tahu
aku disitu?” tanyany.
“ Hany
kebetulan sedang jalan-jalan.”
Hah,
kebetulan memang selalu tak bisa dikontrol dengan logika.
“ Aku tak
bisa percaya lagi dengan wanita!” ujarmu.
ku yang masih
tertunduk lesu bingung mendengar awal perbincanganmu. Aku tak berani menatapnya.
Entah kenapa ia tiba-tiba berkata seperti itu. Aku mengangkat kepalaku,
memandang taruna akdemi militer yang memang benar adalah mantan kekasihku.
Ya, aku bisa
melihatmu sayang. Sosok mu yang sekarang memang berbeda dengan status kita
sejak dua tahun lalu.
“ Bagaimana
hubunganmu dengan wanita itu?” aku akhirnya berani angkat bicara dan bahkan
akhirnya aku berani bertanya tentang hal yang pasti membuat ku terluka lagi.
“ Sudah
berakhir sejak setahun lalu!” ujarmu.
Aku mengangkat
kepalaku dan memandangmu. Tak percaya mendengarnya. Tapi, ada rasa senang
dihatiku mendengar jawabanmu.
“ Kenapa?
Bukankah wanita itu bisa mengertimu daripada ku?” suaraku sedikit bergetar.
Masih kuingat
dengan jelas alasanku meninggalkanmu sayang dan membuatmu akhirnya terluka
begitu dalam. Tapi, aku juga masih ingat lebih jelas lagi saat kau menolakku
kembali karena wanita yang baru kau kenal selama dua bulan itu.
Kau
tersenyum, memandangiku lama, begitu lekat, tapi tak jua menjawab pertanyaanku.
“ Perempuan
itu lebih memilih laki-laki lain daripada menungguku selesai pendidikan! Kau
sendiri bagaimana? Sudah berapa kali ganti pacar?”
Ada nada
meledek disuaramu.
Aku membuang
jauh-jauh pandanganku, tak berani menatapmu terlalu dalam. Aku tahu, aku tetap
tak mungkin bisa berbohong padamu. Aku menggeleng.
“ Kamu yang
terakhir!” jawabku mantap. Sudahlah, rasanya memang aku tak perlu berpura-pura
dihadapan mantan kekasihku ini. Dia sudah cukup mengenalku selama tiga tahun
kami menjalin hubungan.
“ Kenapa?”
tanyamu.
Entah ini
benar-benar dia tak tahu atau hanya sekedar basa-basi.
“ Entahlah!”
jawabku singkat.
“ Namamu
masih bertahta indah di hatiku sayang!”
Hah, rasanya
aku ingin menjawab seperti itu. Agar dunia sadar, agar semua tahu, bergantinya
tahun pun tak akan pernah bisa mengganti namanya dari hatiku.
Kami berdua
larut dalam diam. Malam yang semakin meriah dengan tembakan kembang api tetap
membut suasana di antara kami begitu sunyi. Ya, hatiku memang begitu sunyi
sejak perpisahan dengannya dua tahun lalu. Tiba-tiba air mata jatuh, menetes begitu
saja, tak bisa ku kontrol. Bayangan tahun baru 2011 muncul di benakku. Sayang,
ingatkah kau hal ini terjadi bertahun lalu. Saat kau datang ke Bandung hanya
sekedar menemaniku yang terbaring sakit untuk melewati pergantian malam tahun
baru. Aku masih bisa mengingat dengan jelas, walau itu jadi malam tahun baru
terakhir kita.
“ Tara
kenapa?” tanyamu.
Aku menggeleng
dan menghapus air mataku.
Aku memandangi
seragam yang kau kenakan hari ini. Seragam yang telat kau kenakan ini penyebab
hubungan yang kita jalani harus terhenti. Seragam ini yang membuat jurang
pemisah itu benar-benar ada. Entah apa yang ada di hati dan pikiranku
sebenarnya. Jika harus jujur, aku seperti tak punya hati dan otak. Aku
sebenarnya seperti hidup dalam kesendirian tanpa kehadiranmu. Aku merindukanmu
sayang. Merindukanmu yang pernah menjadi bagian paling berharga dalam hidupku. Atau
bahkan, kamu memang tetap jadi bagian rindu yang paling berharga?
“ Kapan masuk
akademi militer?” tanyaku.
“ Saat
kebencianku padamu menjadi motivasi terbesarku mengenakan seragam ini,”
jawabmu.
“ Maaf!”
jawabku tertunduk lesu.
“ Aku tak
pernah bisa menyangka, hanya seragam ini yang menjadi tolak ukur hubungan kita.
Bahkan, aku lebih tak menyangka lagi saat kau dengan mudah melepaskanku,
melupakanku. Ah, kau memang hebat sejak dulu!” ujarmu sinis.
Aku berdiri,
emosiku terpancing, air mataku kali ini mengalir deras, “ Kamu tahu!” aku menunjuk
mukannya, “ Aku benci pada mereka yang terus menanyakan bagaimana caraku
menghilangkan memori tentangmu. Aku benci pada mereka yang selalu memberikan
tepuk tangan atas keberhasilanku dengan mudah membuang semua kisah kita! Aku benci!”
Kamu memandangiku,
tak bergeming dari tempatmu, dan tak juga membalas bentakkanku.
“ Jika kamu
tahu, aku tak punya jawaban atas pertanyaan konyol mereka itu. Aku hanya bisa
berpura-pura tak peduli denganmu. Ya, aku hanya berusaha tak peduli. Padahal,
setiap saat, setiap waktu yang kupunya hanya sekedar untuk mencari tahu
kabarmu. Mencari tahu tentang cita-citamu!”
“ Aku
menangis, aku begitu terluka dengan kebodohanku mengakhiri hubungan kita saat
itu. Bahkan aku lebih menyesal lagi, kebodohanku membuatmu benci padaku sampai
akhirnya tak kau izinkan aku kembali melengkapi kisah kita. Aku rindu dengan
cada tawa kita dulu. Aku rindu bermanja-manjaan denganmu. Aku rindu semua hal.
Ya, aku berhasil mengubur kisah kita atau bahkan, aku sempat berhasil mengubur
tentangmu. Tapi, kerinduan yang selalu hadir diantara kita selalu kembali
berputar begitu saja tanpa pernah bisa kukontrol.”
Air mataku
semakin menjadi. Nafasku naik turun tak karuan, aku tak malu menangis seperti
ini di hadapanmu. Dua tahun rasa yang kupedam ini akhirnya terungkap sudah.
“ Jadi,
bagian mana yang menjadi tolak ukurmu bahwa aku melupakanmu?” tanyaku dengan
penuh penekanan.
Kau berdiri
dari posisimu, ku lihat kau ingin memelukku, tapi kau urugkan niat itu dan kau
meninggalkanku tanpa sepatah katapun.
“
Aaaaarrrgghhh!” aku berteriak keras. Air mata masih menetes.
Aku memandang
sekeliling, ternyata sejak tadi kami tidak hanya berdua, Dita dan Henrry berada
disini juga, memandangi kami berdua dengan seksama.
“ Pesta tahun
barunya baru mau dimulai kak!” kata Dita, ia berusaha mengajakku melupakan
kejadian barusan, “ Gabung kak!”
Aku mengangguk
dan berusaha mengontrol emosiku.
2014 tinggal
menghitung menit, kenapa 2013 harus ditutup dengan seperti ini? Kenapa harus
ada Andra disini? Kenapa harus dia yang muncul di saat aku butuh ketenangan.
“ Sob,
sudahlah!” Henrry merangkulku, “ Kita senang-senang dulu.”
“ Loe kenapa
nggak bilang kesini sama Andra?” tanyaku lesu.
“ Kan elo
nggak nanya.”
“ Ini pesta
tahun baru Ra, buat resolusi baru. 2013 loe itu tanpa Andra, dan gue selalu yakin,
loe bisa kok melompat ke 2014 juga tanpa dia. Buatlah!”
“ Loe tahu
nggak nryy rasanya masuk ke dalam kolam renang?” tanyaku.
Henrry
menatapku bingung.
“ Dinginkan?”
tanyaku.
“ Ya!”
jawabnya.
“ Tapi, bukan
kah jika kau sudah berada di dalamnya begitu hangat, air kolam malah akan
membuatmu semakin hangat?” tanyaku lagi.
Henrry tampak
semakin bingung, ia yang biasanya selalu bisa mematahkan kata-kataku kali ini
terdiam tanpa jawaban. Entah karena tak punya bantahan, atau memang karena tak
mengerti dengan maksudku.
“ Tapi kak,
hangatnya air di kolam renang tak selalu buat kakak sehat. Terlalu lama di
dalam, kakak akan kembali kedinginan dan sakit. Cukup kak tahan rasa itu dua
tahun, kenyamanan kakak ada batasnya,” ucap pacar Henrry. Ia paham maksudku
ternyata.
Aku tersenyum,
“ Diluar lebih dingin dibanding di dalam, aku sudah pernah mencoba untuk keluar
dari kolam, tapi ternyata aku selalu terpeleset lagi ke dalamnya.”
“ Kak, Dita
sama Kak Henrry bisa bantu kakak keluar. Diluar memang dingin, tapi dingin yang
kakak rasakan hanya sebentar. Kakak akan jauh lebih hangat diluar. Jangan takut
kak, mungkin Kak Andra memang bukan resolusi cinta kakak di 2014 ini. Tapi,
masih ada banyak kak laki-laki lain yang lebih hebat dari Kak Andra,” ucap Dita
menyakinkanku.
Aku tertunduk.
“ Tara yang
gue kenal nggak lemah!” ujar Henrry, “ Tara yang gue kenal nggak cengeng! Gue tahu
masalah loe sama Andra sejak lama. Gue juga tahu, 2014 akan jadi batu loncatan
loe lupain Andra.”
“ Terkadang.
Entah apa yang gue mau. Terkadang. Entah apa yang gue rasakan. Terkadang. Entah
apa yang gue lakukan. Terkadang. Gue coba keluar dari kolam ini dengan susah
payah. Tapi, terkadang gue juga yang selalu menyelam semakin dalam hingga ke
dasar. Dan, ketika itu terjadi, hanya tetesan itu yang bisa gue lakukan. Salah
gue dimana? Gue memang terkadang benar-benar mencoba untuk keluar. Tapi, rasa
ini tak mengizinkan. Apa salah? Jika memang, salah dimana? Apa hubungannya akal
sehat dengan hati? Apa gue nggk boleh bermain dengan cara gue? Apa benar
kehidupan ini harus gue bangun lagi dengan semua kepura-puraan? Salah gue
dimana nryy? Jelasin! Nggak salahkan jika sebenarnya Cuma Andra yang gue harap
jadi satu-satunya resolusi cinta gue di 2014? Atau bahkan di tahun tahun
selanjutnya?”
“ Nggak
pernah salah kok Ra,” aku mendengar suara Andra.
Aku memandangnya
yang begitu gagah dengan seragamnya.
“ Boleh aku
bertanya?” tanyanya.
Aku mengangguk.
“ Seragam ini
yang jadi alasan orang tuaku menolakmu?” tanyanya.
Aku lagi-lagi
mengangguk.
“ Jadi, jika
aku sudah kenakan seragam ini, apa ada alasan lain untuk kau meninggalkanku
seperti saat itu?” tanyanya.
Aku memandangnya.
Laki-laki gagah di hadapanku ini memang sosok masa depan yang selalu
kurindukan. Aku kali ini menggeleng.
“ Jadi,
maukah kau kembali menjadi bagian paling berharga dari hidupku? Jadi, apakah
kau izinkan aku untuk melengkapi puzzle rindu yang hilang itu?” tanyanya.
Aku diam, tak
mengangguk, bahkan tak menggeleng. Aku hanya bisa memandanginnya.
“ Ayolah,
jika kamu butuh orang untuk membantumu keluar dari kolam itu. Kamu tahu, hanya
ku jawabannya. Aku bisa membantumu,” jawabnya tegas.
Diam, ya aku
hanya bisa diam.
Duaaarrrr....
Duaaarrrr.... Duaaarrrr
Suara
tembakan kembang api semakin menjadi, dua menit lagi 2013 hanya tinggal masa
lalu.
“ Ra, sayang,
ayolah jawab. Aku nggak mau balikan sama kamu di 2014, kelamaan harus nunggu
setahun!” katamu coba melucu.
Aku masih
diam, terpaku, aku punya jawaban, tapi masih takut. Kegagalan cintaku denganmu
dulu itu perih. Aku takut gagal lagi.
“ Duh kasihan
nih mawar putih kesukaan kamu kalau lama jawabnya,” ujar Andra yang
memperlihatkan mawar dari belakang seragamnya.
Aku masih
tetap diam. Ia masih ingat kesukaanku.
“ Ingat tahun
baru 2009?” tanyanya, “ Seorang bidadari cantik menemaniku malam itu.”
“ Ingat tahun
baru 2010?” tanyanya lagi, “ Memang hanya ditemani segelas kopi hangat, tapi
ada suara indah peri ku di telepon.”
“ Ingat tahun
baru 2011? Bidadariku merajuk manja tak karuan, badannya panas, tapi tetap bisa
membuatku merasa dibutuhkan.”
“ Tahun baru
2012? 2013? Wah, sungguh tak bisa kugambarkan. Terlalu sepi. Terlalu suram. Terlalu
gelap, dan ya bidadariku pergi.”
“ Sekarang
udah mau 2014, masa iya harus tanpa bidadari itu lagi? Padahal, bidadari itu
ada di hadapanku sekarang.”
Ah, ternyata
aku tahu, memang tak butuh resolusi apapun untuk cinta sekarang.
Aku memandangnya
dan mengangguk.
Andra kali
ini tersenyum dan ia memelukku, mencium keningku. Rutinitas dua tahun yang
kurindukan.
0 komentar:
Posting Komentar