Mungkin ini hanya obrolan di tukang fotocopy, tapi obrolan ini cukup membuat saya miris mendengarnya.
Mungkin ini hanya ungkapan hati orang tua murid, tapi saya cukup tahu bagaimana rasanya.
Hampir empat tahun terakhir saya mengurus pendaftaran siswa-siswa baru di Kota Depok dan Jakarta.
Seperti di tulisan saya PPDB Part 1 jelas kebingungan orang tua memasuki anaknya sekolah.
Miris nggak sih dengar nya? Jamkesda itu kan "Jaminan Kesehatan Daerah" . Pemerintah daerah mengeluarkannya untuk mereka yang memang kekurangan. Tapi, kenapa jadi seperti ini.
Obrolan di tukang fotocopy masih berlanjut, bahkan "katanya" ada seorang guru berujar
Miris nggak? Iya..
Passing grade SMPN 11 Depok sampai jam 09.00 tadi ada di 25,85
Coba lihat celotehan adik-adik kita di twitter yang merasa di rugikan dengan sistem Jamkesda "Yang keterlaluan"
Seperti di tulisan saya PPDB Part 1 jelas kebingungan orang tua memasuki anaknya sekolah.
" Saya nggak tidur lagi habis nguruss BL semalam"
" Saya juga diginiin, kenapa ibu nggak urus Jamkesda aja biar bisa masuk? Saya jawab saja, saya lebih memilih memasukkan anak saya ke Swasta daripada harus urus gituan!"
Miris nggak sih dengar nya? Jamkesda itu kan "Jaminan Kesehatan Daerah" . Pemerintah daerah mengeluarkannya untuk mereka yang memang kekurangan. Tapi, kenapa jadi seperti ini.
Obrolan di tukang fotocopy masih berlanjut, bahkan "katanya" ada seorang guru berujar
" Itu yang pake Jamkesda juga banyak yang naik motor dan mobil daftar ke sekolah"
Miris nggak? Iya..
Passing grade SMPN 11 Depok sampai jam 09.00 tadi ada di 25,85
Wow woo wooo....
yang diterima hanya 148 orang, padahal SMPN 11 Depok, setahu saya menyiapkan 9 atau 10 kelas, dengan 40 orang setiap kelasnya.
Berarti ada sekitar 360 - 400 anak dong yang diterima.
1 kelas jatah masyarakat kompleks
1 kelas jatah kelas olahraga.
Sisanya?
Ya, dan saya baru tahu karena obrolan di tukan fotocopy tadi malam, kalau jatah Jamkesda ada 4 kelas! Bukankah itu keterlaluan? (ya, menurut saya pribadi sih seperti itu)
Keterlaluan dengan besarnya kursi yang diberikan!
Kita memang harus memprioritaskan orang yang susah untuk sekolah, tapi kalau Jamkesda "dimainin" kata sebagian orang, bukankah itu malah merusak sekolahnya?
Apa tidak kasihan dengan adik-adik yang sudah belajar dengan serius dan sungguh-sungguh, tapi nilai yang menurutnya cukup tinggi itu ternyata harus puas di buang dalam sekejap.
Wajar kalau mereka iri, melihat teman-temannya nilai 18,00 dengan jamkesda bisa diterima di SMP pilihannya, sedangkan dengan nilai 25,00, harus siap tersingkir saat pendaftaran.
Apakah yakin yang mendapatkan "Jamkesda" memang tepat sasaran?
Apakah ada "cross check" dulu saat pembuatan "Jamkesda"?
Sistem seperti apa sih yang diciptakan disini?'
Kenapa saya bingung? Kenapa terkesan di Indonesia itu membuat kita terasa begitu "MISKIN" atau memang mau menciptakan orang-orang "MISKIN"?
Ah, saya bingung...
Coba bapak-bapak yang duduk di pemerintahan jelaskan pada kami tentang sistem ini. Kami masih bertanya-tanya pak. Kami juga ingin sekolah bagus, tapi tidak dengan cara mengaku "MISKIN"
Kami hanya ingin sekolah bagus pak dengan nilai yang kami punya, tapi kenapa kami dibuat bingung dengan "Aturan-aturan" baru yang tidak jelas!
Orang tua murid juga masih mempertanyakan, sebenarnya berapa sih kuota resmi Jamkesda?
Coba lihat celotehan adik-adik kita di twitter yang merasa di rugikan dengan sistem Jamkesda "Yang keterlaluan"
0 komentar:
Posting Komentar