DIA BUKAN MILIKKU

Share on :

Pagi cerah, ya sangat cerah, bahkan kalau boleh ku gambarkan, pagi ini begitu sempurna, dan rasanya sudah lama aku tak merasakan pagi seperti ini. Pagi yang selalu membuatku tersenyum. Pagi yang selalu ditemani dua mentari, senyumnya, dan sang surya. Semenjak empat bulan lalu, aku tak lagi bisa merasakan hal-hal seperti pagi ini. Kalian tahu apa? Ya, bercanda dengannya, berlari di bukit, bergandengan tangan dengannya, makan nasi goreng, dan segala aktivitas bersamanya. Pagi ini, pagi yang ku rindukan. Terimakasih Arena, pagi ini ku buat aku tersenyum lagi.

“ Yar sini, aku kenyang!” teriak Arena menyodorkan piring nasi gorengnya.

“ Iya Ren sebentar, aku ambil dulu ya minumnya!”

Aku mengambil air mineral yang sudah disiapkan panitia.

Aku sodorkan air tersebut kepada Arena.

“ Duh dasar, udah tau kurus, nasi setengah piring aja nggak habis!” kataku melihat piringnya yang masih penuh.

“ Mau aku suapin nggak?” tanyanya.

Aku hanya tersenyum, dan gadis itu pasti tahu apa yang harus ia lakukan.

“ Aaaa!”katanya menyodorkan sendok ke arah mulutku.

Aku membuka mulutku, tapi dengan jahatnya sang gadis hanya mengotori mukaku.

“ Arenaaaaaaa!” aku membersihkan mukaku.

Gadis itu tertawa lepas melihat mukaku yang kotor.

“ Huuaaa!” aku balas keisengan gadis itu dengan mengelitik pinggangnya.

“ Yar yar, udah yar , haha, yar, hahaha!” gadis itu menahan geli.

Semua terasa indah. Semenjak masuk SMA, hampir tak pernah hal ini terulang, tapi hari ini Arena milikku, bukan milik yang lain.

Outbond pagi ini yang ditutup dengan sarapan menandakan kegiatan malam keakraban siswa-siswa baru telah berakhir. Tapi rasanya, kegiatan tiga hari ini tak ingin kuakhiri, karena seperti yang kukatakan tadi, tiga hari ini, gadis itu milikku, bagaimana dengan esok? Aku tak tahu apa yang akan terjadi.

Bus menuju Jakarta dari lembang melaju dengan kenyang. Kepala Arena bersandar pada pundakku. Ia terlihat lelah dan tertidur dengan nyenyak. Aku membelai rambutnya, hal ini yang selalu ia suka sejak dulu.

Sejak tadi handhonenya bergetar, dengan iseng ku baca SMS yang ada disana.

Hah iri rasanya dengan cowok ini, cowok yang bisa memiliki hati Arena.

“ Ren, kapan kamu akan terus seperti ini bila berada di dekatku? Apa kamu akan bisa menjadi milikku selamanya?” aku hanya bisa bertanya dalam hati. Tak tahu harus melakukan apa lagi.

Bus tiba di depan sekolah kami, SMA Negeri 39 Jakarta, Arena baru saja sadar dari tidur nyenyaknya.

“ Kalau udah nyampe rumah telepon aku ya!” ujar ku ke arah Arena yang sekarang sedang sibuk mencari headset di kursi bus.

“ Iya Achyar, pasti!” jawabnya, “ Turun yuk !”

Aku dan Arena bergandengan tangan turun dari bus.

“ Chubbbyyyy!” teriak seseorang. Aku dengan sigap segera melepaskan gandengan tangannya darinya.

“ Uh chubby lama banget sih pulangnya!” Rando mencubit pipinya dan mencium keningnya.

Aku seketika menjauh, merapatkan diri kepada teman-temanku dan hanya memberi sekilas senyum pada cewek yang selalu aku sayang.

“ Mau langsung pulang apa beli es krim dulu?” tanya Rando, pacar Arena selama empat bulan terakhir.

Hah, kenapa harus Rando sih yang memiliki Arena? Apa aku kurang baik untuk mendapat cinta gadis ini. Hati ini bergejolak, rasanya ikut kulempar koper ini ke arah muka Rando, cowok yang dengan teganya merebut pujaan hatiku.

“ Makan es krim yuk!” kudengar suara manja Arena dan kulihat ia berlari ke arah mobil sport merah yang terparkir tak jauh dari lokasi berhentinya bus. Rando sibuk mengangkat koper sang gadis.

“ Gue duluan ya yar, sampai jumpa, sorry nggak ngajak bareng!” Rando melambaikan tangannya padaku.

“ Yar, pulang bareng gue aja yuk!” kata Ditya melambaikan tangan padaku dari dalam mobilnya, “ Abang loe cuma jemput ceweknya!”

Aku naik segera ke dalam mobil Ditya.

“ Gue tahu kok loe pasti sayang banget sama Rena, tapi udahlah dia punya abang loe sekarang!”

“ Rando, Rando! Loe tahu nggak sih, dia selalu dapat yang dia mau. Sekolah di luar negeri, pemain biola, pintar, dan semua yang gue nggak punya. Ya, gue tahu takdir ini sejak dulu. Tapi loe harus tahu. Dulu, Arena milik gue yang paling sempurna, tapi ketika Rando pulang ke Jakarta, lagi-lagi si perfect itu yang mendapatkannya.”

“ Hei, kenapa loe harus pesimis? Menurut gue, loe lebih dari Rando, loe juga pintar,” kata Ditya.

“ Tapi nggak sepintar Rando!” kupotong kalimat Ditya, “ Buktinya, empat bulan lalu, gue ajak Arena ke Amsterdam dengan alasan menjenguk Rando. Padahal aku hanya ingin menikmati Negara kincir itu berdua dengan Arena. Tapi aku salah, malah Rando yang menarik hatinya. Bukankah itu hal paling bodoh yang gue lakukan?”

“ Yar, loe selalu yang terbaik buat hidup loe, loe dengan semua kelebihan yang nggak Rando punya! Mungkin ini memang takdir yang salah Yar.”

“ Apa yang Rando nggak punya Ya?” tanyaku, “ Buktinya, Arena jadi miliknya, gadis yang selalu kusanjung di depan Rando, dan Rando tahu itu, tapi dia nggak punya hati dan tetap merebutnya.”

“ Sabar ya, loe atlet, loe jauh lebih hebat dari Rando!”

“ Terserah loe mau puji gue kayak apa, yang jelas Arena bukan lagi di pelukan gue, tapi R A N D O !” aku marah. Cemburu ini terlalu besar untuk disembunyikan.

Kau tahu kawan? Betapa seringnya Arena dan Rando bermesraan di gasibu rumah kami? Sering kawan. Apa kau tahu kawan betapa seringnya hal itu terjadi, dan mereka hanya tersenyum padaku, dan melanjutkan aktivitas mereka? Kawan, apa Rando tak tahu isi hatiku? Ia harusnya tahun kawan, ia abangku, tempatku berkeluh kesah. DULU, sebelum aku tahu, ia akan merebut semua milikku.

Aku sudah sampai di rumah sejak satu jam yang lalu, tapi sejak tadi belum juga kulihat mobil mahal itu terparkir di garasi rumah. Handphoneku juga belum berbunyi, artinya Arena beulm tiba di rumah.

Tak lama, handphoneku bergetar, kulihat nama gadis terlihat di layar. Aku tersenyum, gadis itu ingat denganku.

“ Hai sayang!” sapaku.

“ Hah?” Arena bingung, “ Aku udah sampai di rumah ini. Tadi abangmu habis traktir aku makan es krim. Enak.”

Aku hanya mengiyakan, bingung harus menjawab apa. Mendengar suaranya saja sudah membuatku senang, ia telah menepati janjinya padaku.

“ Ando udah sampai?” tanyanya.

“ Belum!” jawabku singkat, “ Aku capek mau istirahat dulu ya!”

Aku memutuskan mengakhiri sambungan telepon ini daripada api cemburu semakin berkobar dan mungkin bisa saja akan terjadi pertumpahan darah di rumah ini jika Rando pulang.

Pagi ini tiba, pagi yang sudah ku impikan sejak dua minggu lalu. Pagi yang membuat semua orang rumah, kecuali aku mencium Rando, dan bilang agar ia hati-hati. Pagi ini, pesawat menuju Amsterdam akan membawanya jauh dariku dan Arena.

“ Kalau mau liburan lagi, susul ke Amsterdam ya!” kata Rando pada Arena.

“ Uh, kamu kira murah!” katanya.

Rando mencium kening Arena.

“ Bye sayang!” ku dengar suara Rando.

Rando harus segara bersiap naik pesawat, saat ia sudah jauh, aku kirim sebuah sms.

Loe rebut Arena dari gue, tapi loe harus tahu, dia akan tetap jadi milik gue. Hati-hati loe disana.

Rando berbalik badan, tapi ia tak bisa kembali lagi.

Aku hanya tersenyum licik.

Arena bukan milik ku lagi, tapi tak menutup kemungkinan aku akan dapat merebutnya dari Rando.

1 komentar:

Anonim at: 12 November 2011 pukul 23.39 mengatakan...

LANJUTKAN!

Posting Komentar

 

SEPENGGAL KISAH © 2011 Design by Best Blogger Templates | Sponsored by HD Wallpapers