Aku turun dari pesawat dan segera mengambil koper milikku. Bandara Soekarno – Hatta, hampir tiap tahun aku pergi ke Jakarta, bedanya kali ini aku sendiri, tanpa mama dan papaku. Lagipula kali ini aku datang ke Jakarta bukan untuk sekedar berlibur, tapi untuk mengikuti ajang festival Kebudayaan Korea – Indonesia. Aku duta Korea untuk pertandingan taekwondo. Pertandingan yang akan diadakan bulan depan membuatku harus banyak berlatih. Walau aku memang asli orang Indonesia, aku tak mau mengecewakan negara yang telah membesarkan namaku.
“ Ryan!” sebuah suara yang akrab di telingaku terdengar memanggil. Kulihat Evan, sepupuku melambaikan tangan. Ku tersenyum dan berjalan ke arahnya.
“ Thanks ya udah mau jemput gue!” kataku menepuk pundak Evan. Sudah hampir sepuluh tahun aku tinggal di Korea, tapi bahasa Indonesia ku patut di acungi jempol.
“ Santai aja bro! Ayo gue bantu!” Evan mengangkat koper yang kubawa.
Mobil Cr-V hitam yang dibawa Evan siap mengantarkan aku ke rumanhya. Selama perjalanan aku asyik mengobrol dengan Evan tentang kegiatan taekwondo. Aku dan Evan mengikuti taekwondo sejak umur kami belum genap tujuh tahun, awalnya kami ikut taekwondo karena papaku adalah pelatih taekwondo. Tapi, baru saja enam bulan aku latihan di Jakarta, Papa sudah mengajakku hijrah ke tempat asala beladiri tersebut. Lagipula papaku memang asli orang Korea.
“ Apa kabar Yan?” sapa om Rizal, Papa Evan saat aku turun dari mobil.
Ku berjalan ke arah om Rizal dan kucium tangannya, “ Alhamdulillah, baik, om!”
Kami semua melangkahkan kaki ke dalam rumah dan disana ku lihat tante Sonia sedang sibuk menyiapkan makanan. Tante meletakkan piring yang ia bawa dan menghampiriku, sebuah ciuman pun mendarat di keningku, tante Sonia tetap saja memperlakukan ku seperti bocah umur delapan tahun.
“ Ayo makan dulu, pasti kamu cape kan habis pernebangan jauh! Sini sini, tempe bacem favori kamu udah tante siapin tuh!”
Tante Sonia menarik kan kursi untukku. Aku pun segera duduk.
“ Duh aduh tanteku, repot banget sih!” ujarku.
“ Ya iyalah, kan hari ini yang mau nginep bukan keponakan tante, tapi duta korea, jadi kehormatan tersendiri buat keluarga tante!”
“ Ah si tante nih ngeledek!”
“ Nggak tahu!”
“ Heh!” ujar om Rizal, “ Udah ayo makan, laparkan!”
Aku tersenyum dan segera mengambil makanan-makanan favoritku.
Dengan lahap ku habiskan semua santapan yang ada di meja.
“ Ma, udah kenyang, aku sama Ryan mau ke kamar dulu ya!” ujar Evan, “ Daa!”
Evan segera menarik tanganku dan mengajakku main ke kamarnya.
“ Kangen gue disini!” ujar ku segera merebahkan diri di atas kasur.
“ Main PS yuk!” Evan segera menyalakan televisi.
“ Ayo!” ujarku sangat bersemangat.
Malam ini kuhabiskan dengan Evan sambil asyik memainkan PS3 miliknya. Sampai akhirnya kami terlelap dengan PS yang terus saja menyala semalaman.
Pagi tiba, aku terbangun dan segera menunaikan shalat shubuh. Pagi yang kurindukan di Jakarta, tempat kelahiranku.
“ Van ikut!” kataku saat melihat Evan sudah lengkap dengan seragam taekwondo yang di balut jaket.
“ Ya udah ayo naik!” kata Evan, “ Tapi emang loe udah mandi?”
“ Ya udah nggak apa-apa lah, gue nggak mandi juga ganteng!” ujarku sambil naik ke atas motor thunder hitam.
“ Iya aja gue mah!”
Tak sampai 15 menit aku dan Evan di sebuah GOR besar.
“ Yaudah loe tunggu sini ya. Gue mau ngajar!” kata Evan.
Ku acungkan jempolku dan Evan segera meninggalkan ku. Aku berjalan keliling area GOR dan seorang cewek menyita perhatianku. Tampangnya manis, tapi dengan balutan baju dobok ia terlihat rada tomboi. Cewek manis itu terus kuperhatikan dan sosok gadis itu mengingatkan aku dengan seseorang, seseorang yang tak jua ku ingat sampai sekarang. Dua jam lamanya aku menunggu Evan mengajar taekwondo, setelah selesai latihan Evan segera menghampiriku.
“ Nggak bosan kan bro?” tanya Evan.
“ Ya nggak lah!” jawabku, “ Eh Van, cewek itu siapa?” tunjukku.
“ Yang mana?” tanya Evan, “ Yang sabuk merah?”
Aku mengangguk.
“ Oh itu Sayra, masa sih loe lupa?”
“ Bohong!” kataku terkejut.
“ Bener Van, temen kita dulu loh!”
Aku terkejut bukan main saat Evan memberi tahu ku tentang gadis itu. Memoriku mulai terbuka, aku mulai mengingat siapa gadis yang menarik perhatianku.
“ Kenalin dong gue sama dia! Tapi loe bilang aja nama gue Andra. Ok?”
Evan terlihat bingung dengan permintaanku.
“ Please Van, please banget, udah bilangin aja gue mau daftar taekwondo disini, sabuk putih!”
“ Gila loe!” Evan berteriak, “ Loe duat Korea buat Indonesia!”
Aku terus saja memohon. Sampai permintaan gilaku akhirnya di kabulkan juga. Aku dan Evan menghampiri Sayra yang sedang merapikan pakaian taekwondonya.
“ Hai Ra!” sapa Evan. Sayra membalasnya dengan senyuman manis.
“ Kenalin nih, temen aku, katanya dia mau daftar disini juga!” kata Evan.
“ Andra!” kujabat tangan lebut Sayra, entah kenapa aku deg-degan bukan main. Aku mulai ingat siapa sebenarnya Sayra. Sayra adalah pengantin masa kecilku dan aku adalah sang mempelai pria. Permainan itu benar-benar kenangan masa kecilku dengannya. Waktu aku bilang akan pindah ke luar negeri, gadis kecil itu menangis tak mengizinkan aku meninggalkannya. Sepuluh tahun aku tak pernah sekalipun melihat gadis ini, padahal hampir setiap tahun aku berlibur ke Indonesia. Tapi hari ini, gadis kecil itu berdiri di hadapanku, ia telah tumbuh menjadi sosok remaja yang membuatku kembali terpikat.
“ Mau ikut katihan?” tanyanya. Suara itu begitu lembut terdengar di telingaku.
“ Ya!” jawabku singkat. Ah, aku salting berat di hadapannya.
“ Belum pernah ikut taekwondo?” tanyanya lagi.
Sepertinya Evan menyadari bahwa aku grogi berat, jadi ia yang mencoba menjawab pertanyaan Sayra, “ Ri, eh Andra belum pernah sekalipun ikut taekwondo!”
Pertanyaan dari mulut gadis manis itu terus bergulir, dan lagi-lagi aku tak bisa menjawab.
“ Ok, aku pulang dulu, sampai ketemu hari kamis!” kata Sayra, dan ia meninggalkan kami berdua.
“ Gila loe!” Evan tak habis pikir dengan ulahku.
“ Loe sembunyiin identitas gue, please!”
“ Terserah mau duta korea ini deh!”
Waktu dua hari berlalu dengan sangat lambat, sampai akhirnya waktu itu tiba.
“ Cepetan Van!” aku berteriak ke arah Evan yang baru saja pulang dari sekolah.
“ Nyantai ah Yan, laper nih gue!” ujarnya.
“ Ya udah buruan makannya, masa pelatih telat!” ujarku terus ngedumel.
“ Telat?” kata Evan sambil mengambil nasi, “ Ya nggaklah, orang gue latihan jam 4 ini baru jam 3!”
“ Pokoknya buruan!” kataku lagi.
Evan tak lagi menyahuti ucapanku dan terlihat sibuk dengan makanannya.
“ Ayo ayo ayo!” kata Evan sambil menyalakan mesin motornya.
“ Lama banget loe! Makan apa makan?”
Dia nyengir, “ Eh, loe kan entar latihan ?”
“ Udah gue atur semuanya Van, loe mau kan ntar nganterin gue?”
Evan hanya mengangguk – angguk.
Tiba lagi di GOR besar tersebut aku segerakan mengenakan baju taekwondo milik Evan, kan nggak mungkin banget kalau aku pake seragam latihan milikku, bisa-bisa langsung terbongkar semua identitas asliku.
“ Yang bener kaya gini!” ucap Sayra membentak.
Sayra sangat galak kalau lagi mengajar, padahal aku juga pura-pura doang nggak ngerti biar di ajarin ulang sama dia, eh dia malah galak. Pelatih kok galak, serem banget.
Evan meniup sebuah peluit yang menandakan sesi latihan hari ini telah berakhir.
Setelah selesai berdoa aku segera mengambil kaos dari dalam tasku dan berjalan ke ruang ganti. Tak lama, aku kembali duduk di sebelah Sayra dan memasukkan pakaian taekwondo milik Evan.
“ An, itu sabuk hitam siapa?” tanya Sayra.
“ Ha?” aku heran. Aduh, ternyata tas ku terbuka dan Sayra melihat isi di dalamnya.
“ Oh, itu sabuk aku kok!” kata Evan, “ Tadi gue nitip sama Andra.”
Huu, aku menghela nafas lega.
“ Oh iya, minggu depan ada kejuaraan mahasiswa, pada mau nonton nggak?” tanya Sayra.
Evan melirik ke arahku, “ Kalau aku kayanya nggak bisa deh Ra, mungkin Andra bisa nemanin kamu.”
“ Insyaallah aku bisa!” jawabku, “ Lagian aku nggak pernah nonton gituan.”
Evan pasang tampang super duper mega aneh ke arahku.
“ Ya udah, bareng sama aku aja ya?” ajak Sayra.
Otomatis aku mengangguk senang.
“ Sabeum, aku pulang duluan ya!” kata Sayra pada Evan dan melambaikan tangan kepada kami semua.
“ Loe benar-benar gila,” kata Evan, “ Nggak pernah nonton gituan?”
Aku tertawa, “ Udahlah nggak usah di bahas!”
Latihan dengan Sayra benar-benar menyengkan, sebenarnya bukan latihannya yang menyenangkan, tapi dekat dengan Sayra adalah kebahagian tersendiri.
Waktu di Jakarta berlalu dengan sangat cepat jika aku sedang bersama Sayra, tapi begitu lambat ketika aku ingin bertemu Sayra. Hari ini ada kejuaraan mahasiswa, dan aku harus tampil paling keren. Baju kemeja putih yang kugunakan benar-benar membuat penampilanku tampil keren, untuk menambah daya pikatku pada Sayra kugunakan jaket biru yang kubawa langsungdari korea. Sekali lagi kupastikan penampilanku sudah oke di depan kaca. Tak perlu polesan pisau bedah operasi yang sering dilakukan teman-temanku di Korea, tampang orang Indonesia bisa dipastikan memang sudah cakep, seperti diriku. Motor milik Evan berhasil membuatku semakin gagah. Ku jemput Sayra di rumahnya dan ia begitu cantik tanpa balutan baju dobok itu. Ia segera naik ke atas motor dan kami berangkat ke tempat kejuaraan. Baru saja aku memparkirkan motor, seseorang memanggilku.
“ Ryan!”
Duh, aku bingung bukan main, mana yang manggil aku pelatih taekwondo dari Indonesia yang cukup terkenal, dan kuyakin Sayra kenal dengan dirinya.
“ Bentar!” kutinggalkan Sayra sendiri dan aku menghampiri pelatih tersebut, setelah sedikit mengobrol tentang pertandingan dua minggu lagi aku kembali menghampiri Sayra.
“ Kok loe bisa kenal?” tanya Sayra aneh.
“ Oh, biasalah, Evan yang ngenalin gue.”
Aku mencoba berbohong pada Sayra, dan Sayra percaya – percaya aja. Keputusan salah menemani Sayra menonton pertandingan hari ini, terlalu banyak orang yang kenal pada diriku, puncak kebohonganku pun saat seorang panitia menghampiriku dan meminta diriku untuk mengisi acara pertandingan hari ini.
“ Sorry sorry, gue bukan Ryan, gue Andra, loe salah orang kali!” ujarku salah tingkah, untung aja Sayra lagi di toilet, kalau nggak bisa tamat semua kebohonganku.
“ Makan siang dulu aja ya!” ajakku.
Gadis cantik itu mengangguk dan tak banyak bicara.
Kupesankan jus alpukat untuk gadis pujaanku tersebut.
Sayra menatapku heran, “ Emang gue pesan jus alpukat?” tanyanya.
“ Eh, loe nggak doyan ya?” tanyaku.
“ Nggak, gue heran aja, loe kok tahu gue suka sama alpukat, kan gue belum mesen.”
“ Oh, maaf ya, gue nebak aja, soalnya gue juga doyan banget.”
Aku mengajak Sayra pulang.
“ Sampai hari kamis!” kata Sayra turun dari motor.
“ Ra,” panggilku.
Sayra menatapku.
“ Gue pulang dulu ya!” ucapku salah tingkah dan kulajukan motor dengan kencang.
Aku masuk ke dalam rumah dengan bersiul dan terheran-heran ketika kulihat Papa dan Mamaku sedang duduk di kursi, “ Heh Pa, Ma, katanya baru minggu depan tiba di Jakarta?”
“ Ya, semua sudah selesai, jadi kami percepat keberangkatan kami ke Jakarta.”
Papa tiba lebih awal di Jakarta, dan artinya mau nggak mau, aku harus mau berlatih jauh lebih keras, nggak bisa aku main-main di klub milik Evan, dan itu artinya jadwalku bersenang-senang dengan Sayra juga sudah selesai.
Hari kamis yang kutunggu tiba juga, walau akhirnya Papa mengacaukannya, sesuai dengan dugaanku.
“ Om ikut ya Van?” tanya Papa.
Evan melirik ke arahku dengan muka tersenyum.
“ Oh boleh banget om, malah Evan senang banget, klub Evan bisa kedatangan orang besar kaya om!”
Papa segera naik ke dalam mobil dan aku mengikutinya setelah kutinggalkan tas besar yang berisi seragam latihan. Kami telah sampai tapi aku tak berani turun dari mobil. Kulihat semua anggota taekwondo tampak antusias melihat kedatangan Papa. Untung aja Papa nggak manggil aku untuk turun dari mobil. Ternyata sulit menyembunyikan sebuah kebohongan.
Aku terlelap di dalam mobil dan terbangun ketika Papa masuk dan menjitak kepalaku. Aku bingung, kok anak baik kayak aku bisa punya Papa yang tampangnya sangar banget, apalagi kalau udah ngajar, semua anak taekwondo pasti takut sama dia.
Festival Kebudayaan Korea – Indonesia akan berlangsung selama seminggu. Pertandingan taekwondopun akan dimulai hari ini. Sayra ingin sekali menonton acara ini, tapi tak ada yang mau menjemput Sayra, karena aku belum mau rahasia ini terbongkar.
Semua persiapan telah aku lakukan, wejang –wejangan dari Papapun telah kurekam di otakku, dan sekarang namaku telah dipanggil untuk segera memasuki lapangan. Aku masuk dengan langkah mantap, tepuk tangan penonton begitu keras. Aku memegang tanggung jawab besar hari ini, aku harus buktikan duta Korea itu akan menjadi taekwondowin terbaik. Sayra tak hadir, itu artinya aku bisa tenang untuk bertanding. Latihan selama satu bulan di Jakarta telah membuat tehnik dan powerku semakin mantap.
“ Ah!” jeritan penonton terdengar ketika awal tendangan di buka dengan tendangan dwi hurugiku tepat mengenai kepala lawanku dari Medan dan applous meriah pun terdengar.
Tak sampai 5 menit, lawanku telah lemas tak berdaya, otomatis aku dinobatkan sebagai pemenang. Ku berjalan ke pinggir lapangan dan Papa menepuk pundakku, “ Gitu dong, putra Papa!”
Kulepas sabuk hitam yang kukenakan dan aku melirik ke arah Evan. Mataku terbelalak tak percaya ketika kulihat Sayra berdiri di samping Evan dan kali ini ia berlari ke luar GOR. Aku kaget, dan dengan kencang akupun segera mengejar Sayra. Papa menatapku dengan penuh kebingungan. Aku berhasil mengejar Sayra dan kurangkul ia, tapi dengan kasar ia lepaskan rangkulan itu.
“ Loe penipu!” ucapnya sadis.
Ku terdiam. Sayra pun tak lagi mengucapkan kata-kata.
“ Yongso,” sepatah kata dalam bahasa korea yang artinya maaf akhirnya meluncur juga dari bibirku. Sayra mencoba melepasakan pegangan tanganku. Tapi aku menahannya. Aku baru akan membuka mulut lagi ketika Sayra telah berucap, “ Evan udah cerita semuanya! Loe nggak perlu cerita apapun.”
“ Kamu nggak ngerti apa-apa Ra!”
“ APA yang nggak gue ngerti, bagian mana? Gue ngerti banget kok, kalau loe sama Evan lagi nipu gue disini, gue udah curiga kok, mulai dari tingkah loe yanga neh, sabuk hitam di tas loe, pelatih-pelatih hebat yang bisa kenal sama loe. Om nya Evan yang datang dan bilang putranya duta korea untuk festival hari ini, gue emang nggak inget siapa loe, gue nggak tahu kalau loe ternyata duta Korea itu loe. Gue baru tahu kalau semua yang loe lakuin itu Cuma kebohongan saat gue lihat jelas photo loe di internet. Gue kira itu Cuma sekedar mirip, tapi setelah gue kait-kaitkan semua, ternyata bukan Cuma mirip, tapi itu emang bener loe. Loe bukan Andra, tapi Ryan!”
Air mata jatuh di pipinya. Aku tak bisa berucap tapi ingin kuhapus air mata itu, walau akhinya dia menepis tanganku.
“ Ini demi kamu! Dan kamu inget siapa aku? Ryandra. Nama yang dulu kamu bilang terkesan seperti cewek. Inget?” kataku.
“ Demi gue?” ia berteriak, “ Kenapa loe nggak langsung bilang aja siapa loe yang asli, nggak perlu pake ngebohongin gue. Kalau loe tahu, gue sebenarnya kangen banget sama loe!”
“ Aku takut Ra, aku takut kamu nggak bisa terima aku lagi, aku juga takut kamu nggak inget sama aku lagi!” ucapku, “ Aku masih takut lihat kamu nangis kayak gini.”
“ Loe tahu, kenapa gue yang dulu loe bilang feminim bisa ikut taekwondo?”
Aku menggeleng.
“ Gue mau nyusul loe ke Korea, gue nggak segampang itu ngelupain loe, walau loe Cuma pengantin priaku di masa kecil. Loe cinta monyet sekaligus cinta pertama gue.”
Ku menunduk dan tak bisa lagi berucap, sebegitu besarkah kisah masa kecil kami melekat pada diri Sayra.
“ Loe datang ke hadapan gue sekarang, tapi dengan sebuah kebohongan besar!” katanya, “ Loe bukan Ryan yang gue kenal.”
“ Ra, dia tuh Cuma pengen deket ama loe. Maafin dia ya! Walau gue tahu caranya dia itu salah.”
“ Aku juga rindu Ra sama kamu!” kupeluk tubuh Sayra dan kali ini ia tak melepaskannya. Ia menangis di pundakku, sampai akhirnya aku berhasil menghapus air mata yang kubuat.
“ Jangan nangis!” kataku. Aku merangkul Sayra dan kami berdua berjalan memasuki GOR, semua orang menatap kami dengan tatapan heran dan saling berbisik.
“ Kamu tuh nekat!” kata Sayra memukul pundakku.
“ Demi kamu, apa sih yang nggak!” aku tersenyum, “ Lagian aku juga mau dong di ajarin taekwondo sama gadis cantik dan galak! Modal nekatlah. Eh, tapi jadi sabuk putih itu enak loh.”
Ia melotot ke arahku.
“ Kalau aku tahu kamu tuh duta Korea, aku udah ngerjain kamu habis-habisan di lapangan.”
Aku hanya tertawa mendengar ocehannya. Modal nekatku di lapangan akhirnya membuahkan hasil yang gemilang.
NEKAT DI LAPANGAN
Diposting oleh
CERITA CINTA
Minggu, 30 Januari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Berharap jadi penulis besar di masa depan
Posting Komentar