Andra

Share on :


Andra
                                    
Aku asyik bermain gitar di bahan pohon. Menikmati dinginnya malam di kota Bandung. Segelas kopi panas yang baru saja jadipun dengan mudah menjadi dingin. Aku berhenti bersenandung ketika tiba-tiba handphone yang berada di dalam saku bergetar.
‘ TARA’ nama yang tertera di layar handphone-ku. Aku bingung, ada apa Tara mencariku. Baru ingin kuangkat telepon tersebut, tiba-tiba sambungan terputus. Aku meletakkan handphone-ku di rumput dan kembali sibuk dengan gitarku. Tak lama, lagi-lagi handphone-ku bergertar.
“ Halo!”  aku segera mengangkat telepon tersebut.
“ Kak An!” terdengar suara Tara dari ujung telepon.
“ Ya!” jawabku.
Aku diam, menunggu jawaban Tara.
“ Tar!” panggilku. Tak terdengar jawaban. Aku melihat layar handphone-ku, ternyata sambungan sudah terputus. Aku coba hubungi kembali, tapi tidak ada yang mengangkat. Berkali-kali aku mencoba, tetap tidak ada jawaban. Aku seketika panik, apalagi suara Tara begitu bergetar tadi. Ku perhatikan sekeliling, anak-anak sedang asyik bercerita di tengah api unggun yang sudah padam. Beberapun sudah mulai memasuki tenda, tapi aku tak melihat Tara.
Aku sandarkan gitarku di pohon dan berjalan menghampiri Bram.
“ Tara mana?” tanyaku.
“ Tadi sih izin ke depan, tapi kayanya udah di tenda deh!” jawab Bram yang sedang sibuk melucu.
“ Oke!” jawabku.
Aku tinggalkan Bram dan genk rumpinya. Aku berjalan ke arah tenda Tara.
Ku buka tenda tersebut dan ternyata kosong.
Aku bingung. Pikiranku seketika kacau. Aku coba hubungi Tara sekali lagi, tetap tak ada jawaban, bahkan tak tersambung. Kali ini aku benar-benar panik. Aku mulai berpikir sesuatu terjadi dengan Tara.
Aku masuk ke dalam tenda dan kuambil headlamp-ku.
“ Mau kemana kak?” tanya Jeni.
“ Jalan bentar!” jawabku sok tenang, “Lihat Tara?”
Jeni menggeleng.
Aku mulai berjalan lurus, mencoba mencari Tara. Dingin begitu merasuk dalam tubuh, ditambah gerimis yang belum juga berakhir. Aku coba kembali hubungi handphone Tara, tapi tak bisa tersambung. Perasaan aneh dan bayang-bayang jelek mulai bermunculan memenuhi otakku. Rasa khawatirku kepada Tara pun semakin hebat. Pergi kemanakah gadis itu?
“ Tar!” aku berteriak memanggil Tara.
Tak ada jawaban.
Aku masih berusaha tenang.
“ Tara!” panggilku lagi.
Belum juga ada sahutan. Aku terus berjalan dan terpeleset beberapa kali.
Jalanan begitu licin, aku tak yakin Tara melewati jalan ini. Lagipula mau kemana ia melintasi wilayah ini.
Aku hampir saja berbalik arah, ketika aku mendengar sebuah suara.
“ Tolooong!”
Aku sadar, itu suara Tara. Tara pasti mengalami sesuatu yang berbahaya.
“ Tar, Tara dimana?” aku mulai berteriak.
“ Kak, kakak!” aku mendengar sebuah suara menyahutiku.
“ Tar, Tara dimana?” tanya ku panik dan memperhatikan sekeliling.
“ Kak sini kak, tolongin Tara!” suara itu semakin jelas.
“ Taraaaa!” teriakku histeris.
Aku takut, ketika kulihat gadis itu bergelantungan di dahan pohon.
“ Tar, pegang tangan kakak aja!” kataku berusaha menggapai tangannya.
“ Kamu bisa Tar!”
Aku coba kuatkan ia. Padahal aku sendiri begitu ketakutan melihat gadis itu.

Tara

Udara kota Bandung memang selalu dingin, apalagi hujan rintik-rintik baru saja menghias langit malam. Aku berjalan menjauh dari perkemahan sembari sibuk berbalas pesan lewat BBM dengan Kak Hadi. Suara musikpun mengalun indah dari headset yang kukenakan.
“ Yah lowbat!” aku melihat baterai handphone ku yang sudah berwarna merah dan mematikan musik, “ Balik ah! Udah lama jalannya.”
Kuputuskan untuk kembali ke perkemahan, karena kurasa aku sudah berjalan terlalu jauh.
Tapi..
Kenapa jalannya bercabang? Aku harus kemana? Tak kusadari jalan yang sejak tadi kulalui ternyata gelap. Aku berusaha tak panik, berusaha tenang, dan mencoba menelepon seseorang, tak diangkat, akupun berusaha menghubunginya sekali lagi.
“ Halo!” aku mendengar jawaban.
“ Kak An!” ujarku berteriak.
Tapi, belum sempat Kak Andra menjawab panggilanku handphone ku mati.
Kali ini aku benar-benar panik, aku berada di tengah hutan sendirian tanpa alat komunikasi. Jalan menuju ke perkemahan yang baru kusadari itu menanjak dan licin, bahkan aku lupa arah menuju kesana. Air mata mulai menetes, pipiku kali ini terasa basah. Aku berusaha memecahkan kebuntuan pikiranku, kuputuskan untuk terus naik ke atas walaupun harus terpeleset beberapa kali karena tanah yang semakin licin.
Toloong! Kak Bram! Kan Andra!” aku mulai berteriak.
“ Toloooongg!”
Aku terus berjalan tak tentu arah.
“ Aahh!” tiba-tiba kakiku terperosok ke dalam jurang. Air mataku mulai menetes. Asma-asma Allah tak henti kuagungkan di dalam hati. Tanganku mulai sakit berpegangan pada sulur tanaman ini. Ku pejamkan mataku, rasanya sudah tak ada lagi harapanku untuk melihat indahnya mentari di langit biru.
“ Ya Allah!” aku hanya menyebut nama sang pencipta.
“ Tolooong!” aku mulai berteriak kembali, aku tahu, masih ada usaha untuk selamat dari tempat ini. Aku tak boleh terlalu cepat berpasrah.
“ Tar, Tara dimana?” sebuah suara mulai terdengar.
“ Kak, kakak!” aku membuka mata dan mencoba berteriak.
“ Tar, Tara dimana?” tanya suara itu lagi.
“ Kak sini kak, tolongin Tara!” aku masih menangis dan menjerit.
Kak Andra melihatku dan ia segera berjongkok.
“ Tar, pegang tangan kakak aja!” kak Andra mengulurkan tangannya.
Aku berusaha memegang tangan kekar itu, tapi rasanya terlalu sulit.
“ Kamu bisa Tar!”
Suara laki-laki itu membuatku mendapat motivasi. Ku coba terus raih tangan kak Andra dan aku berhasil. Tangan itu membantuku naik ke atas, setelah berhasil naik, aku peluk kak Andra, dan aku menangis di pelukannya.
Kak Andra membiarkan aku menangis di pelukannya, “ Tar, jangan nangis. Tara udah nggak apa-apa kok, ada kak Andra yang bakalan jagain Tara terus, biar Tara nggak apa-apa.”
Aku terus saja menangis. Aku tak mungkin lupa, beberapa menit lalu, malaikat pencabut nyawa hampir saja menarik roh ku.
“ Kakak tahu darimana aku disini?” tanyaku.
“ Tadi kamu miscall aku, pas aku telepon balik nggak bisa. Aku cari di perkemahan kamu juga nggak ada. Jadi kuputuskan untuk mencari kamu.”
“ Ayo de,” kak Andra membantuku berdiri, “ Kita kembali ke perkemahan ya!” aku berdiri, tapi semua terasa sakit.
“ Auuuww!”
“ Kenapa de?” tanya Kak Andra merebahkanku lagi.
“ Kaki Tara sakit kak!”
Kak Andra melepaskan sepatu ku dan memijatnya.
“ Nggak apa-apa kok, cuma terkilir.”
Kak Andra membantuku berdiri dan memapahku untuk kembali ke perkemahan. Medan yang kami tempuh menaik dan tanah licin, apalagi gerimis mulai turun kembali, ini membuat semua terasa sangat berat. Beberapa kali kami berdua terpeleset, rasa sakit di kakiku pun semakin menjadi.
“ Sakit!” aku mengeluh.
Kak Andra membiarkan aku duduk di atas batu.
“ Pelan-pelan yuk Tar!” ia berjongkok di sampingku, “ Disini dingin, baju kamu basah, biar istirahat di tenda aja!”
Aku berdiri, Kak Andra memapahku, dengan perlahan, akhirnya kami sampai juga di perkemahan. Aku tak sadar jalan yang kulalui sejak tadi ternyata begitu berbahaya.
“ Tara kenapa?” kak Bram menghampiri aku dan Kak Andra dengan wajah yang super duper mega panik.
“ Udah nggak apa-apa kok. Jangan tanya macem-macem dulu!” kata Kak Andra merebahkanku di tikar yang berada di depan tenda.
Kak Bram segera duduk di sebelahku, sedangkan kak Andra berjalan meninggalkanku.
“ Dra, badannya panas!” kata kak Bram memegang keningku.
“ Bawa masuk ke tenda aja, gerimis di luar!” kata kak Andra dingin.
“ Nggak apa-apa kok kak!” kataku.
“ Dra, kita balik ke Jakarta aja deh!” kata Kak Bram lagi. Kak Bram terlihat panik melihatku, “ Si Itik kan bawa mobil sendiri, biar anak yang lain besok naik bus!”
“ Nggak usah kak!” kataku mencegah.
Kak Andra berjalan meninggalkanku dengan kak Bram, padahal tadi laki-laki itu yang begitu cemas dengan keadanku, tapi kenapa laki-laki itu terlihat sangat tak peduli.
Aku mencoba berdiri dan memasuki tenda.
“ Auuw!” aku meringis menahan sakit, aku lupa kalau kakiku masih terkilir.
Kulihat kak Andra berbalik badan dan menghampiri ku kembali.
“ Ade kenapa?” tanya Kak Bram.
“ Kakinya terkilir, loe cariin obat gosok sana Bram biar gue obatin.”
Aku masuk ke dalam tenda ditemani kak Andra, didalam tenda dengan penerangan seadanya laki-laki itu memijat kakiku.
“ Sakit?” tanyanya.
Aku hanya menggangguk.
Pandangan mataku beradu dengan Kak Andra, ada rasa aneh yang kudapat dari sorot tajam mata itu.
“ Ini ndra,” kak Bram memasuki tenda dan memberikan obat  gosok itu.
“ Sabar ya, sedikit sakit,” kata kak Andra dengan suara lembut.
Tangan kekar itu memijat pergelangan kakiku yang sakit.
“ Temenin Bram, kalau nggak loe suruh yang lain temenin.”
Kak Andra berdiri dan ingin keluar tenda.
“ Kak Andra!” aku memanggilnya.
Ia menengok ke arahku.
“ Makasih kak!”
Kak Andra tersenyum dan ini pertama kali aku melihat senyum manisnya.
***

0 komentar:

Posting Komentar

 

SEPENGGAL KISAH © 2011 Design by Best Blogger Templates | Sponsored by HD Wallpapers