Kasih Sayang

Share on :

Murid kelas tiga SMA itu tertunduk lesu di atas kamarnya, perlahan-lahan air mata jatuh di pipi lembutnya. Ia benci keadaan ini, benci sosok anak-anak itu telah lenyap bermetamorfosis menjadi seorang gadis remaja, bahkan mungkin sebentar lagi ia dewasa. Gadis ini tak akan pernah lagi ditanya, “ Sekolah dimana?” “ Kelas berapa?” Tapi sebentar lagi orang-orang akan bertanya, “ kuliah dimana?” “ Semester berapa?”

“ Aku benci!” ia berteriak dalam hati, menengelamkan kepalanya dengan boneka-boneka kesayangannya, hingga ia terlelap, terlelap dalam alam bawah sadarnya yang membuatnya tenang.

Pagi menjelang, alarm handphone membangunkannya, ia lihat jam dinding, pukul 02.58, walaupun masih mengantuk, ia coba bangun, mengambil air wudhu, dan menjalankan shalat sunah. Ada banyak yang ingin ia minta pada Allah, sang pencipta. Ada banyak sesuatu yang tak mungkin ia harapkan jadi mungkin.

“ Tuhan, aku tahu waktu terus berputar, waktu tak akan pernah terhenti, terus berjalan. Kehidupanpun seperti siklus, anak-anak jadi remaja, kemudian beranjak dewasa tapi aku berharap, kasih sayang yang akan orang tuaku beri pun jangan sampai terhenti. Aku rindu, rindu di perlakukan seperti anak kecil, seperti anak yang dulu mereka gendong, mereka timang, mereka manja, bukan seperti sekarang, aku hanya mereka jadikan pajangan yang sekedar di jaga tanpa harus mereka rawat. Tuhan, buka hati mereka, perlihatkan pada mereka, aku rindu kasih sayang dari mereka.”

Lagi-lagi air mata menetes. Entah kenapa, akhir-akhir ini ia mulai menjadi gadis melankolis, sedikit-sedikit nangis, sedikit-sedikit mengeluh, tapi tak tahu apa yang harus dilakukan. Hah, ia yakin, pasti ini akibat ia membuka album-album masa kecilnya, foto-foto yang menggambarkan betapa bahagianya ia dulu ditemani dengan kasih sayang dari sang orang tua.

“ Aku kesepian!” ia merajuk sendiri di kamar, “ Mana kasih sayang itu? Mana?”

Ia baru saja mandi, shalat shubuh, dan memutuskan untuk sarapan. Hening, rumah ini sangat hening, seperti tak ada kehidupan di dalamnya. Jam sudah menunjukkan pukul 05.00, tapi tak ada yang menemaninya sarapan, atau sekedar menyiapkan sarapan untuknya. Hah, mungkin ini memang kehidupan orang dewasa, mandiri, atau sendiri dalam sepi.

Seorang supir siang mengantarnya pergi ke sekolah.

“ Pagi Mba!” sapa Pak Narno sopan dari dalam mobil.

“ Pagi Pak!” senyum manis terhias dari bibirnya. Di bukanya pintu depan mobil, dan terlihat Pak Narno memasang tampang heran.

“ Kok di depan mba?” tanyanya.

“ Ya emang kenapa Pak? Nggak apa-apa dong!” jawab gadis ini yang kemudian sibuk dengan blackberry baru hadiah lomba menulis cerpen kemarin.

“ Nggak apa-apa kok mba!” jawab laki-laki paruh baya itu sopan dan segera mengantarnya pergi ke sekolah.

“ Pak, anak bapak umurnya berapa sekarang?” tanyanya.

“ Wah, anak bapak segede Mba Aren sekarang, sama masih SMA.”

“ Kalau libur suka jalan-jalan atau ngumpul bareng nggak Pak?” tanyanya antusias.

“ Ya sering sih mba, ngumpul-ngumpul gitu. Kenapa mba kok nanya-nanya? Kangen sama nyonya ya yang lagi di luar kota?” tanya Pak Narno.

Pertanyaan yang langsung menusuk ke hatiku.

“ Ah, nggak apa, lagian mama juga besok udah pulang,” jawabnya berbohong.

Padahal ia ingin sekali menjawab, “ Ia Pak! Aku kangen, kangen sama mama, kangen sama papa yang dulu, yang masih menganggap aku anaknya.”

Mobil Cr-V hitam yang mengantarku berhenti tepat di gerbang sekolah, SMAN 39 Jakarta.

“ Makasih Pak!” jawabnya dan segera turun dari mobil.

Gadis ini masuk ke dalam sekolahnya dan tersenyum pada siapa saja yang ia kenal. Ya, inilah Aren, selalu tampak ceria, jarang sekali ia tampak murung, walaupun dalam hati ia sering menangis, menangis menjalani hidupnya.

“ Latihan drama ntar sore Ren?” tanya Jessi.

“ Pasti!” jawabnya.

“ Eh, loe nggak ngumpul pramuka dulu?” tanya Ambar yang duduk di sebelahnya.

“ Datang dulu kok, tapi palingan bentar, biasa sibuk!” jawabnya tertawa.

Sekolah tampak sangat biasa jika tak mengikuti ekstrakurikuler atau organisasi lainnya. Jadi, gadis yang baru berusia tujuh belas tahun ini memiliki banyak kegiatan organisasi, sekedar mengisi waktu luangnya. Waktu di sekolahpun buatnya terlalu cepat berjalan, karena jika ia tidak memiliki kegiatan ekstrakurikuler artinya ia harus segera pulang, sendiri di rumah, tanpa ke dua orang tuannya.

“ Selesai,” ujarnya saat masuk ke dalam mobi.

“ Pulang non?” tanya Pak Narno.

“ Iya Pak! Aku mau istirahat!” katanya.

Sekolah sampai sore, ngumpul ekstrakurikuler, dan latihan drama. Semua sudah ia lakukan, dan ia senang melakukan semua kegiatan itu. Artinya, sampai di rumah ia bisa segera tidur, tanpa harus memikirkan kasih sayang itu.

K A S I H S A Y A N G

“ Ma, tadi aku habis drama loh di sanggar, masa ada Kak Dude, itu artis yang…” ia bersemangat bercerita pada mama yang sedang menonton televise.

“ Nggak penting itu buat mama kamu certain!” ujar mama, “ Mama cape cari duit buat kamu.”

Deg…kata-kata itu langsung kena di hatinya, ia mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. Tanpa ada kata yang keluar mulutnya, ia melangkah masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan mama yang sekarang asyik bercerita dengan papa.

“ Hah!” ia membuang nafas, “ Tak adakah tempatku curhat sekarang? Tak adakah yang mau mendengarkan aku berkeluh kesah?”

Lagi-lagi, entah untuk keberapa kalinya gadis manis itu menangis, menangisi keadaan dirinya. Ulat itu telah berubah menjadi kupu-kupu, kupu-kupu yang tak perlu lagi mereka suapin, tak perlu lagi mereka jaga, karena mereka menganggap kupu-kupu itu siap terbang tanpa mereka. Tapi, ia tak suka keadaan ini, ia tak mau keadaan ini. Ia masih mau diperlakukan seperti anak kecil, anak yang bisa mereka cium, mereka manja. Tapi mana? Nyatanya, mereka tak pernah berikan itu lagi. Bukan hanya materi yang seharusnya mereka berikan, tapi kasih sayang, karena semua anak butuh kepuasan batin

Hari-hari terus berlalu, hubungannya dengan orang tuanya semakin merenggang, mereka sudah jarang berkomunikasi, sibuk dengan kegiatan masing-masing. Gadis itupun mulai lebih sibuk dengan les-les persiapan ujian.

K A S I H S A Y A N G

“ Masih kecil aja pacaran!” ujar papa ketus.

“ Papa jahat!” teriaknya dan langsung mengunci rapat pintu kamarnya.

“ Dari dulu Papa emang jahat!” ujar Papa menyahuti suara anak tunggalnya, “ Pergi aja dengan pacarmu, masih anak kemarin sore.”

Ia menangis. Rasanya, ia memang tak ingin pulang. Ia benci rumahnya, rumah yang hanya melindungi fisiknya, tapi bukan batinnya, orang tuanya seakan sudah tak peduli pada dirinya.

“ Aaaaarrrrgggghhh!” ia berteriak.

Ia kesal, kekesalan yang memuncak saat kedua orang tuanya melarang ia pacaran. Padahal, kalau saja mereka tahu, hanya dari pacarnyalah ia bisa sedikit tertawa, bisa merasa hidupnya berarti buat orang lain, dan ia masih bisa dapat perhatian, perhatian yang hilang dari dua orang yang paling ia sayang.

Ia lelah lama-lama larut dalam kesedihannya. Ia mulai menyibukkan diri dengan laptopnya, menulis semua kekesalannya, kesedihannya dalam bentuk kisah, kisah yang ia harap di baca oleh kedua orang tuanya.

Ia mulai mengetik sebuah kalimat.

‘Yang tak remaja suka dari orang dewasa.’

Tangannya begitu lancar mengetik kalimat demi kalimat walaupun ia harus merasakan pipinya basah, basah oleh air mata yang mengalir deras. Perih memang rasanya, tapi apa lagi yang harus ia lakukan? Larut dalam kesedihan bukanlah pilihannya.

“ Gue lulus!” ujar gadis itu sumringah, “ Makasih semua!”

Gadis itu larut dalam suasana kelulusannya. Ia bersyukur, bisa lulus dengan nilai yang sangat baik. Ia pun tambah bersyukur, buku karyanya bisa terbit dan terjual di pasaran.

“ Selamat ya sayang!” Mama turun dari mobil dan memeluknya, mencium keningnya dan menggandeng tangan putrinya tersebut.

“ Maafin mama! Nggak pernah tahu apa yang kamu rasain!” wanita karir itu membelai-belai rambut sang gadis.

Gadis itu kembali menangis, kali ini ia menangis terharu, bukan menangis sedih tapi menangis senang, ia bahagia, ia bisa dapat apa yang ia mau sekarang. Ia membuka buku perdananya dan membca beberapa poin,

Yang tak remaja suka dari orang dewasa

1. Terlalu sering mengganggap pekerjaan remaja tak beres.

2. Remaja seakan tak perlu kasih sayang, karena orang dewasa berpikir, bila sang remaja cukup materi, artinya kehidupan remaja sangat menyenangkan, padahal inilah sebuah KEKELIRUAN besar, remaja rindu di perlakukan seperti anak kecil, dicium, dimanja.

3. “Jangan larang mereka pacaran!” jika orang dewasa tak bisa memberikan kasih sayang yang cukup untuk mereka.

4. Jika orang dewasa tak bisa membagi waktu dengan remaja, maka jangan salahkan jika remaja membuat organisasi sebagai rumah pertama mereka.

5. Mereka butuh tempat bercerita, berbagi keluh kesah dan meminta saran dari orang dewasa, tapi orangdewasa terlalu sering berkata. “ Tak penting cerita kamu buat saya!”

Masih banyak yang harus ia ingat untuk menjadi dewasa. Ia akan terus belajar, meminta kasih sayang, dan belajar meberikan kasih sayang pada orang lain.

0 komentar:

Posting Komentar

 

SEPENGGAL KISAH © 2011 Design by Best Blogger Templates | Sponsored by HD Wallpapers